Hari Minggu ini masih seperti Hari Minggu sebelum-sebelumnya, belum bisa kembali ke kampung halaman, dan sibuk berkutat dengan urusan tanggungjawab. Saya duduk santai di taman kota menyaksikan kesibukan orang-orang yang berlalu lalang. Tumpukan kertas surat-surat dan daftar deadline tugas masih tertumpuk rapi di dalam tas yang sedari tadi belum saya jamah. Semoga hari ini menyenangkan.
Beberapa saat kemudian seorang perempuan berambut pendek bergegas datang dan duduk di samping saya. Sejenak menatap dalam ke mata saya lalu terlihat bola matanya basah sedikit demi sedikit.
"Aku nggak suka kayak gini, aku benci dia Mbak," ucapnya seketika. Saya tidak mengerti siapa dia dan kenapa tiba-tiba bicara seperti itu. "Apa semua cowok kayak gitu sih Mbak? Suka ngasih harapan semu."
Saya mencari tisu di dalam tas, lalu memberikannya pada perempuan yang sekarang mulai menangis di samping saya. Saya masih kurang mengerti apa yang dibicarakannya, mungkin tentang pacarnya.
"Dia itu baik banget sama aku Mbak, beda dari teman-teman cowok yang lain. Tapi dia juga udah punya cewek. Mungkin emang akunya mbak yang salah. Mungkin emang aku yang terlalu sensitif sehingga mudah menaruh hati sama dia. Aku benci karena aku dibuat bingung sama perasaanku." Saya masih mendengarkannya. "Iya, aku yang salah karena merasa dia menaruh perhatian. Ini pasti karena aku selalu menutup hati untuk lelaki. Ya, pasti karena selama ini aku menjaga jarak dengan lelaki, mungkin karena aku takut disakiti."
Sesekali tangannya mengusap air mata yang mengalir ke pipi. Sesekali tangannya mengepal menahan emosi yang ingin meluap. Sesekali ia menggigit bibir bawahnya untuk menahan isakan yang semakin menjadi.
"Tapi aku nggak suka diperlakukan seperti itu Mbak. Aku cuma ingin ada satu orang saja yang benar-benar sayang seutuhnya dan selamanya. Apa itu berlebihan?" Angin berhembus kering menyibak rambutnya yang hitam. Ia membenahi ikat rambut yang mulai berantakan. Saya masih mendengarkannya berbicara.
"Aku hanya takut tersakiti, sehingga aku lebih memilih menutup hati. Mungkin aku trauma," ia menatap saya dalam dalam. "Kakakku hamil di luar nikah, Mbak, dan sejak saat itu aku sangat berhati-hati dengan cowok. Dan sejak saat itu, aku belum bisa percaya sama orang lain. Aku cuma percaya sama Tuhan."
Saya menghela nafas, mengerti kesedihan dan kekawatiran yang ia rasakan. Dia menunduk dengan air mata yang masih saja jatuh. Ia meremas ujung bajunya, terisak dan membisu.
Saya memegang pundaknya, "Hey, ini bukan akhir segalanya, ok? Terkadang aku juga benci mendengar orang memujiku cantik, karena aku tidak tahu dia benar-benar melihat aku cantik atau hanya sekedar basa basi. Kamu boleh menjaga hati kamu, karena itu tidak salah. Suatu saat, hati kamu akan terbuka dengan sendirinya, ketika kamu sudah siap. Kamu juga tidak mau terus menutup diri kan? Kamu kan juga butuh teman hidup, dan selama perjalanan bertemu dengan teman hidup itu tidaklah mulus. Seperti yang kamu alami dengan cowok itu adalah salah satu ujian untuk tahu, apakah kamu sudah siap untuk bertemu dengan jodohmu."
Dia mendengarkan saya berbicara, lalu memandang jauh di ujung taman. "Jadi ini ujian ya Mbak?" Saya ikut memandang jauh, "Siapa yang tahu."